Cerpen
IKHLAS
“Tika! Ayo cepat! Sejam lagi kamu
harus tampil. Kalau telat entar bayaran kamu dipenggal sama Pak Bos.” suara
mama membuatku bergegas. Pemaksaan! Begitulah kebiasaan mama memaksaku untuk
tampil menyanyi.
“Ya sudah kalau Tika ndak mau, mulai
besok Tika pindah saja sekolahnya dekat rumah, tidak usah bersekolah di
madrasah itu lagi.” jurus ancaman yang mama luncurkan jika aku menolak
permintaannya. Itulah mama, bidadari yang senang sekali memaksakan keinginannya
kepadaku. Bidadari yang telah membuatku terlahir di dunia dan membesarkanku
dengan keringatnya sendiri.
Memori masa kelamku semasa SMP dulu,
melintas lagi dibenakku. Masa dimana aku menjual suaraku. Menjadi pemandu drumband
dengan baju kekurangan kain, dan juga aku biarkan mahkotaku terurai tak
terbalut dengan penutup kepala atau biasa disebut dengan kerudung.
“Ica! Lagi mikirin sapa tuh?” suara
Dinda memecah lamunanku. Di sekolah teman-teman biasa memanggilku dengan Ica
bukan Tika lagi.
“Kamu bikin kaget aja, Din. Oh ya,
ke ruang musik yuk! Mumpung jam pelajarannya kosong. Lama ndak latihan
shalawatnya. Bukankah bulan depan kita akan mengikuti lomba?” aku menarik
tangan Dinda, melangkahkan kaki menuju ruang musik tempatku bernostalgia dengan
duniaku yang telah lalu. Ruangan yang membuatku tetap betah di madrasah ini,
cukup sulit kurasa untuk beradaptasi di madrasah ini. “Teman-teman latihannya
kita lanjutin besok ya..!” aku mengakhiri latihan shalawat dengan beberapa
temanku hari ini.
Rasa cintaku dengan dunia shalawat
tumbuh, setelah aku tahu bahwa shalawat merupakan satu-satunya amalan yang
senantiasa dinilai sebagai ibadah. Selain itu aku terinspirasi dari cerita
kebanyakan orang yang sukses karena cinta mereka kepada Rasulullah dan
gencarnya bershalawat. Aku bertekad untuk mengikuti napak tilas mereka melalui
rasa cinta kepada Rasulullah dan shalawat.
Belum sempat aku mengunci ruang
musik, tiba-tiba kepalaku pening. Badanku serasa lemas tak berenergi, semua
yang kupandang terlihat kabur. Suara-suara disekitar memanggilku dan
menghilang. Semua senyap, sepi dan gelap.
“Ica...
Ica.., kamu sudah sadar?” suara Dinda yang khas memanggilku. Kudapati diriku
tengah terbaring lemas di kasur UKS madrasah. Kepalaku masih terasa berat dan
pening di bagian belakang. “Iya Din, kepalaku masih sedikit pusing Din.”
jawabku. Seperti ada air yang perlahan mengalir dari lubang hidungku. “Ica
hidung kamu!” Dinda nampak kaget, aku mencoba menyeka air dari hidungku. Aku
terbelalak. Air yang aku kira ingus tidak lain adalah darah, darah segar yang
perlahan menetes dari hidungku.
“Kamu mimisan Ca...!” Dinda kelihat
panik. Aku merasakan pusing yang begitu dahsyat sampai-sampai aku tak kuat lagi
untuk menahannya. Aku memejamkan mataku untuk menahan rasa sakit, dan aku kembali
tak sadar dengan lingkungan disekitarku.
^_^
“Tika pingsan di sekolahnya, Pa!”
sayup-sayup aku mendengar suara mama.
“Mama ini gimana? Kalau ndak bisa
ngurusin Tika, biarkan dia tinggal di Jakarta. Agar hidupnya lebih layak dan
selalu kupantau kesehatannya.” suara lelaki itu sedikit membentak mama.
Aku mencoba untuk membuka mata,
sangat berat, namun tetap aku paksa. Ruangan putih bersih, selang infus, bau
obat-obatan yang khas membuatku tersadar bahwa aku tengah terbaring di ranjang
rumah sakit.
Di sofa kamar tempatku di rawat,
mama tengah bercengkrama dengan seorang pria yang tak aku kenal, mama melihat
ke arahku yang sedari tadi memperhatikannya. “Tika, kamu sudah sadar nak?” mama
berlari kearahku, dengan wajah yang terlihat sembam karena menangis. Pria itu
melangkah di belakang mama. “Siapa pria itu ma?” tanyaku. “Ini papa Tika, kamu
lupa dengan papamu sendiri?” pria itu mendekati ranjang tempatku berbaring.
“Papa? Bukankah mama bilang papa
sudah meninggal?” aku tertegun papa yang selama ini mama bilang sudah tiada,
tiba-tiba muncul dihadapanku dan mengusik kehidupanku dengan mama.
“Sudahlah Tika jangan banyak
berfikir dulu. Sekarang lebih baik kamu istirahat supaya lekas pulih, dan bisa
kembali bersekolah lagi.” mama mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku masih
bingung dengan semua ini. Namun mama benar aku masih harus banyak istirahat
agar bisa masuk sekolah dan kembali latihan shalawat dengan teman-teman.
“Dokter, sebenarnya anak saya sakit
apa Dok?” mama bertanya dengan dokter yang memeriksaku. “Anak Ibu hanya
kelelahan saja, dan butuh banyak istirahat. Besok sudah boleh pulang dan
istirahat di rumah.”
Hampir satu minggu aku tidak masuk
ke sekolah. Sepulang dari rumah sakit aku hanya berbaring dan berdiam diri di
kamar.
“Ma, pria yang datang ke rumah sakit
itu sebenarnya siapa Ma?” tanyaku.
“Benar yang pria itu katakan, dia
itu papa kandungmu, maafkan mama jika selama ini mama mengatakan papa telah
meninggal. Mama waktu itu sangat terpuruk, karena papa selingkuh dengan wanita
lain. Sehingga mama mengatakan papa sudah meninggal.” kalimat mama membuatku
seakan disambar petir.
“Kenapa Mama harus membohongi Tika?
Kenapa Ma?” aku masih tak menyangka papa yang selalu kusebut dalam setiap bait
do’aku agar tenang di alam sana, ternyata masih berkelana dengan istri barunya
di dunia.
Tapi mau bagaimana lagi? Tak pantas
aku memarahi mama, hanya karena dia berbohong kepadaku. Sudahlah untuk apa aku
meratapi sesuatu yang telah berlalu, mungkin inilah jalan terbaik yang Tuhan
hadiahkan untukku
Di rumah sakit itulah kali pertama
dan terakhir aku melihat papa, karena sebelum pulang papa bepesan kepada mama
untuk merawatku. Karena ia harus ke luar negeri untuk tinggal dengan ibunya,
sedangkan wanita yang papa kejar 17 tahun silam pergi meninggalkannya setelah
berhasil merebut kekayaan perusahaan papa.
Dari cara papa menatap mama, tersirat
rasa sayang yang tak mampu mencuat dari lisannya. Begitu pula mama, yang sebisa
mungkin menutupinya.
“Mama masih sayang ya sama papa?”
aku menyeletuk sewaktu mama menemaniku di kamar. “Rasa sakit mama jauh lebih
besar dibandingkan rasa sayang mama kepadanya Tika.” jawab mama, terlihat di
sudut matanya bulir air mata hendak jatuh namun mama segera menyeka dengan
tangannya. “Sudahlah lebih baik Tika sekarang istirahat besok kan harus masuk
sekolah.
^_^
“Wah ibu, vokalis kita sudah sembuh.
Welcome Ibu Ica!!!” teman-teman dengan riuhnya menyambutku sewaktu aku
menjejakkan kaki di kelas. Mereka mulai menjejaliku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang cukup membuatku frustasi. Untunglah bel masuk menyelamatkanku dari wawancara dadakan di
ruang kelas. Selepas istirahat aku mengumpulkan semua anggota shalawat untuk
latihan. Dokter melarangku untuk terlalu banyak beraktivitas yang
melelahkan, sehingga tidak memungkinkan untuk latihan shalawat sepulang
sekolah. Untunglah, ketika aku sakit Fitri bersedia untuk membimbing
teman-temanku latihan.
“Fitri, makasih ya. Kalau tidak ada
kamu, aku ndak bisa ngebayangin ikut lomba di festival shalawat itu. Kapan ya
Fitri tanggal lombanya?” tanyaku. “Tanggal
15 Mei 2015 Ca, di Universits favoritmu itu loh Ca” aku terbelalak.
“Seminggu lagi berarti? Kalau
tempatnya mah aku sudah hapal” aku masih tidak percaya, Fitri hanya mengangguk
tenang. “Tenang Ca teman-teman sudah lancar semua kok! Sekarang kita tinggal
latihan bareng kamu biar serasi.”
^_^
“Dinda, semalam aku bermimpi melihat
orang berjubah putih, namun dia meninggalkanku hanya berkata “Ikhlas!”
Dan berlalu begitu saja.” aku bercerita perihal mimpi anehku semalam.
“Waduh Ca, mimpi itu cuma bunganya
tidur. Lagi pula aku ini bukan mufasir mimpi, mana bisa aku paham maksud dan
tujuan mimpimu itu.” Dinda tertawa menjawab pertanyaanku. “Atau kita tanyakan
ke Pak Sahat aja Ca, menurut beberapa anak dia paham hal begituan.” Dinda
mengajakku menemui Pak Sahat.
“Bisa jadi orang itu malaikat atau
bahkan Rasulullah Ca.” Pak Sahat mencoba menafsirkan mimpi yang telah aku
ceritakan. “Sebelumnya, saya bermimpi sedang tampil shalawat dengan teman-teman
Pak.” tambahku.
“Ica, apakah selama ini Ica ikut
shalawat tulus dari hati Ica paling dalam?” pertanyaan Pak Sahat membuatku
merenung sesaat sebelum ku lontarkan jawaban.
“Sebenarnya, awal saya ikut shalawat
hanya karena ingin dipuji Pak, tapi sekarang sudah mulai berkurang kok Pak.”
jawabku malu.
“Itulah Ca, saat ini mungkin kamu
masih ingin di puji oleh orang lain. Mulai sekarang cobalah untuk ikhlas dalam
melakukan segala hal. Insyaallah semua yang Ica lakukan tidak akan
sia-sia.” kalimat Pak Sahat membuatku sadar bahwa satu hal yang membuatku
selama ini susah untuk juara disetiap perlombaan. Kata-kata Pak Sahat membuatku
berkomitmen untuk belajar ikhlas dalam segala hal.
Apalagi menurutnya orang yang datang
ke mimpiku adalah Rasulullah yang sangat dirindukan dalam mimpi-mimpi setiap
ummat islam. Mungkin jika aku ikhlas bershalawat lillah aku pasti dapat
melihat wajah kekasih Allah itu.
Aku menangis sendu dalam lembaran
sepertiga malamnya. Aku menyadari betapa nistanya aku sebagai seorang hamba
yang hanya menjadikan shalawat sebagai legitimasi belaka untuk suaraku yang tak
lagi di pakai untuk menyanyi di panggung agar tetap dipuji orang dan dikenal.
Ya Rabb bisa saja kau hapus suara
merdu ini dari bagian tubuhku, bisa saja kau cabut nyawa hamba detik ini jua.
Namun hamba yakin bahwa engaku masih memberi hamba kesempatan untuk berubah
menjadi pribadi yang ikhlas dan lebih baik lagi, pribadi yang mencintai dan
dicintai oleh Engkau dan RasulMu serta pribadi yang kelak akan bernaung dibawah
payung syafa’atmu Ya Rasulullah, dan yang senantiasa bersyukur di taman surgamu
Ya Rabb. Amiin.
^_^
Bus melaju dengan kencangnya menembus
dinginnya jalanan malam. Aku terbangun dari tidur lelapku. Beberapa jam lagi
aku akan menginjakkan kaki di universitas yang sangat aku idam-idamkan sejak
aku masuk di madrasah. Rasa mengantuk yang sejak tadi menghantuiku perlahan
sirna setelah tugu besar simbol universitas itu berada dihadapanku. Aku
bershalawat kepada Rasulullah karena shlawat kepadanya akan selalu dinilai
sebagai ibadah.
Esok paginya kami bersiap menuju
tempat lomba di aula kampus. Lima menit sebelum lomba dimulai aku menyempatkan untuk
menelpon mama yang ada dirumah, sekedar menanyakan kabar dan memohon restu dan
do’anya, karena do’a seorang ibu istijabah.
“Assalamu’alaikum Ma...” salamku.
“Wa’alaikumsalam.. Tika..” suara khas mama dari seberang sangat jelas di
telpon.
“Ma sebentar
lagi Tika mau tampil lomba shalawatannya, do’anya ya Ma. Semoga bisa memperoleh
yang terbaik.” pintaku.
“Iya,
mama selalu mendoakan Tika. Jaga kesehatan! Jangan sampai sakit lagi” “Sip Ma!
Sudah dulu Ma, Tika mau naik ke panggung. Assalamu’alaikum.” salamku
“Wa’alaikumsalam...”
jawab mama.
Ketika naik ke atas panggung
keringat dingin memenuhi sekujur tubuhku. Aku gugup, melebihi kegugupanku saat
pertama kali tampil menyanyi dulu. Aku mencoba menenangkan diri. Aku hayati
bait demi bait shalawat yang mengalun syahdu, seakan mengalir bersama desah
nafasku, berikatan dengan darahku dan tibalah di serambi hati yang tenang,
damai, dan penuh kebahagiaan, menyirnakan seluruh beban dunia yang selama ini
kukenang. Seakan ada energi positif yang mengitariku, membuatku semakin sadar
betapa tipisnya rasa cintaku kepada Rasulullah SAW, jika dibandingkan rasa
cinta Rasul kepada ummatnya.
Air mata yang sedari tadi ku
bendung, tumpah, membasahi pipiku, tepat di bait terakhir shalawat yang aku
bawakan, untunglah tidak memengaruhi penampilanku. Suasana hangat
menyelimutiku, ketika turun dari panggung aku merangkul semua temanku termasuk
Kak Intan, pelatih grup shalawat. Karena mereka semua merupakan tabir perantara
bertambahnya cintaku kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW. “Terima kasih,
untuk semuanya, berkat kalian aku merasakan betapa nikmatnya jika kita
mengagumi Rasulullah dengan se ikhlas hati.” aku menangis haru. “Ica, ini semua
berkat Allah, kita sebagai manusia hanyalah perantara saja.” Kak Intan mengusap
pipiku yang basah karena air mata.
Penjelasan
Pak Sahat mengenai mimpiku waktu itu terbukti kebenarannya. Tim shalawat
mushollahku memperoleh juara pertama. Sugguh ini kali pertama aku memperoleh
juara satu dalam sebuah perlombaan. “Terimakasih Ya Rabb, Syukurku
kepadaMu.” Desahku dalam hati.
^_^
Tepat jam enam pagi bus sampai di
halaman madrasah. Disebarang jalan nampak mama menungguku dan hendak
menghampiriku yang baru datang. Sungguh tak terbesit di benakku ketika mama
hendak menyeberang, dari arah timur truk dengan kencangnya melaju dan mengendus
tumbuh mama, hingga mama terpental dan jatuh di trotoar. Darah bercucuran
memenuhi wajah mama. Piala yang aku pegang tak kuhiraukan kubiarkan terjatuh
dari genggamanku, aku berlari menuju mama yang tergeletak di trotoar depan
madrasah.
“Ma...Mama... Jangan tinggalkan Tika
sendiri ma..MAMA.....!!” aku menagis histeris, tak ku hiraukan lagi darah mama
yang mengenai bajuku. Aku tak ingin kehilangan mama, orang tuaku satu-satunya.
Dengan menggunakan mobil milik
sekolah aku dan beberapa guru yang waktu itu sudah datang di sekolah membawa
mama ke rumah sakit yang jaraknya dekat dengan sekolah. Namun Tuhan berkehendak
lain. Sewaktu mama baru masuk ke dalam mobil malaikat maut telah lebih dulu
mengambil nyawanya. “Tika jaga dirimu
baik-baik nak, jaga ibadah, dan jangan berhenti untuk memperjuangkan cita-cita
dan cintamu kepada Rasulullah karena dengan syafa’atnya kelak kamu bernaung.
Maafkan mama jika selama ini kurang perhatian denganmu nak. Mama sangat
menyayangimu.” itulah kalimat terakhir yang sempat mama ucapkan kepadaku
meskipun sedikit terbata-bata namun sangat membekas di hatiku, mama memejamkan
matanya dan menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuanku.
Belum sempat aku memberitahu mama
bahwa aku juara, belum sempat aku memberikan uang pertamaku kepada mama, belum
sempat aku ucapkan terima kasih kepada mama. Semua belum sempat ku lakukan,
namun aku berusaha untuk ikhlas.
Mengapa aku terlambat untuk ikhlas
dalam segala hal? Mengapa aku tidak dari dulu mengucapkan kata terima kasih
kepada mama? Haruskah aku menyalahkan diriku sendiri?
“Akhh! Kenapa semuanya harus
terlambat” desahku selepas pemakaman mama. “Tidak Ica kamu belum terlambat. Ini
belum akhir Ica, kamu jangan menyerah seperti itu!” Pak Sahat mengagetkanku.
“Sekarang saya paham maksud dari
penjelasan bapak waktu itu, makasih pak mungkin jika bapak tidak mengingatkan,
saya jauh akan lebih menyesal dari keadaan saya saat ini.” kataku sambil menyeka
air mata yang sedari tadi mengguyur deras.
^_^
Aku menjalani hidupku di ma’had
tanpa adanya kunjungan mingguan dari mama. Rumah tempatku tinggal dengan mama
aku kontrakkan kepada orang dan uangnya aku gunakan untuk membiayai
kebutuhanku.
Dari Peristiwa ini mampu membuatku
untuk belajar lebih dewasa lagi, cobaan yang Allah berikan kepadaku menjadi
batu loncatan bagiku untuk tangga kehidupan yang jauh lebih tinggi.
Sore itu, langit menampakkan guratan
jingganya. Seorang pria paruh baya datang mencariku di ma’had. Aku kaget
setelah aku tahu ternyata pria itu adalah papa. Akhirnya aku dapat bersua
kembali dengan papa, belum sempat aku berbicara dengannya ketika di rumah sakit
waktu itu.
Papa menyampaikan tujuannya datang
ke Indonesia hanya untuk menjemputku. “Tika, Papa berencana mengajakmu ke
London untuk tinggal bersama papa dan nenek disana. Lagi pula di sini kamu
tidak ada yang mengurus.” aku masih perlu beberapa menit untuk mencerna ajakan
papa.
“Maaf Pa, bukannya Tika mau menolak
ajakan Papa, namun Tika mempunyai keluarga disini di madrasah yang selalu
menjaga dan merawat Tika, jadi Papa tenang aja.” jawabku, sebenarnya aku ingin
sekali ikut papa tinggal di luar negeri.
Tapi ada satu hal yang membuatku
meggugurkan niat itu, ada grup yang menungguku untuk kelak menjadi pelatih bagi
adik-adik seniorku. Grup yang membuatku sadar arti cinta sebenarnya. Grup yang
membuatku lebih dekat kepada Rasulullah Muhammad SAW, grup shalawat “Hubbi
Raudhoh” yang kucinta.
^_^
Selulus madrasah aku bisa saja langsung
kuliah, tanpa tes di universitas tempatku mengikuti lomba shalawat waktu itu,
namun aku urungkan niatku untuk kuliah. Aku memilih untuk mengabdikan hidupku
kepada ma’had dan madrasahku dengan mengajari bibit-bibit baru vokalis Hubbi
Raudho yang kini menjadi bagian perjalanan hidupku.
Siang yang terik, matahari bersinar
tepat di ubun-ubun kepalaku. Aku berjalan kaki menuju ma’had. Ketika perjalanan
pulang kepalaku pusing dan berkunag-kunag, mimisanku kambuh lagi dengan
kapasitas yang melebihi kenormalan seorang yang mengalami mimisan. Aku langsung
di larikan ke rumah sakit dekat madrasah.
Dokter menyampaikan bahwa ada kanker
ganas yang bersemayam di tubuhku dan kini telah mencapai stadium akhir. Sewaktu
aku di periksa dulu sel kanker itu belum terdeteksi perkembangannya. Kini aku
hanya bisa berdo’a dan menunggu malaikat maut menghampiriku, dan membawaku
menemui mama dan bersua dengan Rasulullah di surgaNya yang menjadi mimpi
besarku selama ini.
Sungguh manis jalan yang Allah
berikan padaku, jika saja waktu itu dokter telah memvonisku positif kanker
mungkin aku tidak akan sempat mengupgrade rasa cintaku kepada
Rasulullah.Mungkin saja aku tidak akan sempat mengabdi kepada madrasah dan
ma’hadku. Mungkin semua tak akan berakhir semanis ini. Aku menghembuskan nafas terakhirku di kamar rumah sakit
ditemani beberapa teman-temanku yang menangisi kepergianku. Di hari itu aku
tutup kisahku di dunia yang hanya persinggahan semata menuju alam akhirat yang
kekal karenaNya.
End...
#Coccom
Komentar
Posting Komentar