Cerpen
FAINNAMA’AL ‘USRI YUSROON
(Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan)
Oleh : Nuril Q (coccom)
Kuhempaskan
badan dan kepala penatku diatas kasur. Panas matahari siang menyeruak masuk
melalui jendela kamar yang sengaja kubuka, jilbab yang sedari tadi pagi
membalut mahkotaku kini harus kutanggalkan karena suhu udara siang yang tak
bersahabat. Biasanya bulan September seperti sekarang ini sudah memasuki musim
penghujan, namun, entahlah hanya Allah SWT yang Maha Mengetahi dan Berkuasa
yang dapat menurunkan tetes karunia-Nya melalui derai air hujan.
Genap
satu bulan setelah aku wisuda, namun tak ada satu pun berkas lamaran kerjaku
yang diterima, kebanyakan alasan setiap perusahaan sama “Maaf, mbak kami baru
saja merekrut karyawan baru.” begitulah jawaban yang selalu kuterima setiap
kali aku datang dan pulang dengan hasil yang nihil. Padahal jika ditelaah IP-ku
masih diatas rata-rata dan tidaklah mengecewakan.
“Aduh
nduk, kamu kok repot-repot yang mau kerja, gaji ibu sama bapak masih cukup
untuk biaya adik-adik mu sekolah. Kamu ambil saja beasiswa S2 mu, ituka mimpimu
sejak di SMA dulu.” kata-kata ibu sedikit memotivasiku untuk melanjutkan kuliah
S2, namun fikiran untuk dapat sedikit meringankan beban ekonomi mereka seakan
jua bergejolak dalam benak yang tak menentu. “Tapi Buk! Jika bukan sekarang
kapan lagi Ninda dapat membantu ibu?” kataku setiap kali membahas lamaran
kerjaku yang tak kunjung diterima.
Minggu
pagi aku meluangkan waktuku untuk jalan-jalan dengan dua sahabat baikku sejak
SMA dulu Dawim dan Novita karena sudah lama aku tak bersua dengn mereka,
pikiran dan tubuhku butuh penyegaran setelah enam hari berkecamuk dengan
berkas-berkas lamaran yang mulai lapuk karena tak ada yang menerima.
“Nin,kenapa
tidak kamu coba mengirim karya-karya tulismu ke surat kabar kan lumayan buat
biaya hidupmu sehari-hari, jadi kamu tidak terlalu bergantung pada orang
tuamu.” saran Dawim.
“Kamu
Nin, kok malah susah lamar kerja sana-sini, yang namanya dunia kerja sekarang
tuh ndak lepas dengan uang pelicin, yang dapat mempermulus jalanmu buat
diterima.” ujar Novita.
Betul
yang dikatakan Novita, dijaman yang mulai edan ini setipa gerak-gerik
kita butuh uang seakan uang dijadikan sebagai tuhan (Naudzubillahhimindzalik).
Aku tak ingin jika aku diterima kerja hanya karena adanya uang sebagai jalan
pintas, yang aku mau perusahaan mau menerimaku karena bakat dan kemampuan yang
aku miliki.
***
“Ninda,
perusahaan temen bapak lagi butuh seorang sekretaris. Karena sekretarisnya yang
lama jatuh sakit, kamu mau tidak melamar kerja di perusahaan temenya bapak?”
tanya bapak saat kami tengah menonton TV di ruang keluarga.
“
Sekretaris Pak? Boleh juga, apalagi dalam hal yang berhubungan dengn komputer.
Kapan Pak Ninda bisa datang kesana?” kataku dengan wajah sumringah.
“Besok
juga boleh. Tapi Nin...” wjah Bapak nampak sedikt gelisah.
“Kenpa Pak?” tanyaku penasaran.
“Hanya saja di perusahaan temen
Bapak ada peraturan dilarang berjilbab.” kat-kata bapak sontak membuatku kaget
bisa dibayangkan di era yang super modern seperti saat ini masih ada orang yang
menganggap jilbab sebagi suatu hal yang tidak menarik, tidak fashionable, atau semacamnya.
“Karena
alasan itu Nin, ibuk tidak terlalu setuju dengan usulan bapakmu.” ibu akhirnya
bersuara setelah sekian menit bungkam tanpa kata-kata.
“Tapi
Ninda, gaji yang perusahaan itu tawarkan cukup besar, dan pekerjaanya pun tidak
terlalu menguras tenagamu.” kata-kata bapak seakan sangat menginginkanku untuk
bekerja di perusahaan temennya.
“Dek,
peliharalah hidayah ini, jika kita membiarkannya gersang, maka akan matilah
dia. hidayah dapat diibaratkan dengan tanaman. Jika kita rajin memupuk dan
menyiraminya maka ia akan tumbuh subur, dan akan sebaliknya jika kita tidak
mampu untuk merawatnya. Allah akan mampu memalikkan hati kita, sesuai dengan
kecenderungan. Apalah artinya hidup tanpa adanya hidayah dan ampunan-Nya.”
Kata-kata
neng fatimah tujuh tahun yang lalu saat aku memutuskan untuk berjilbab. Malam
itu juga aku bngun malam untuk shalat istikharah memohon pentunjuk dari-Nya
dengan situasi yang mengiringku saat ini. Di benakku bertanya-tanya akankah aku
menukar hidayah yang Allah beri hanya dengan gaji duniawi belaka. Semua rasa
dan asa berkecamuk dalam sanubari.
Benarnya
saja jika Allah tak berkehendak maka segalanya tak mungkin terjadi. dua hari
setelah bapakmemintaku untuk menjadi sekretaris di perusahaan temanya terdengar
kabar bahwa perusahaan temannya tersebut terlibak kasus korupsi yang cukup
bersar sehingga haru ditutup.
“Alhamdulillah, untunglah kamu
tidak jadi melamar di perusahaan itu Nin.” kata ibu lega
“Maafkan Bapak Nin jika kemaren
sempat memaksamu.” ujar bapak sambil mengusap keplaku.
“Iya buk, pak. ini menandakan kalau
Allah masih menyayangi keluarga kita.” kataku seraya memeluk ereka berdua yang
mulai termakan usia.
Dari arah ruang tamu terdengar
suara telpon berdering.
“Assalamu’alaikum, apa benar ini
kediaman adek Ninda Kurnia?” tanya orang disebrang sana.
“Wa’alaikumsalam, ia dengan saya
sendiri, ini dengan siapa ya?” tanyaku sopan
“Kami dari penerbit ‘Mayang Publisher’
ingin menyampaikan bahwa novel adek Ninda yang berjudul : Kisah Hati Tiga
Serangkai, akan segera diterbitaka. kami menginformasikan agar adek dapat,
mengirimkan bodata lengkap dan softcopy ke alamat email kami.” informasi
yang baru saja aku dengar sontak membuatku kaget.
“iya mbak saya akn segera
mengirimkan biodata dan softcopynya, ini bukan penipuan kan mbak?”
tanyaku masih ragu
“tidak dek, kami memang benar-benar
dari penerbit ‘Mayang Publisher dan akn segera menerbitkan novel yang adek
buat, karena ceritanya yang segar dan penuh ide-ide kreatif. kalau begitu sudah
dulu ya dek saya masih banyak pekerjaan. Tolong secepatnya dikirimkan agar
segera dicetak. Asslamu’alaikum” mbak yang ada disebrang meyakinkanku dan
mengakhiri pembicaraan.
“terima kasih mbak atas
informasinya. wa’alaikumsalam.” jawabku dan seketika saja terdengar suara
penanda terputusnya hubungan telepon
Kalimat tahmid terus mengalir
disetiap detak nadiku, impian menjadi seorang penulis kini telah didepan mata,
orang-orang akan segera membaca karya-karyaku yang penuh dengan dakwah islam
sebagai slah satu caraku untuk mensyiarkan agama yang telah menuntunku kejalan
yang benar.
Sungguh Allah Maha Adil, jika saja
waktu itu aku langsung menerima tawaran bapak dan langsung bekerja di perusahaan
temnnya mungkin saja aku hanya menjadi pengangguran kembali. yang tak menemukan
arah tjuan.
Ya rabb...
aku tak ingin pengabdianku terbagi
pad selain Engkau. Menjadi karyawan atau pegawai bukanlah satu-satunya pintu
rejeki-Mu. Lebih baik aku di bidang lain, dan itu adalah skenario-Mu, daripada
harus ku tinggalkan syariatMu.
Sesungguhnya Allah Maha Tahu apa
yang terbaik bagi hambaNya. Dia tak ingin aku lari dari mengingat-Nya atau
malas memohon kepada-Nya. Cukuplah ridha-Nya untukku. Dan aku ridha dengan
keputusan-Nya, juga orang tuaku dan kawan lain yang tengah mengalami hal serupa
denganku. Mudah-mudahan ujian ini menjadi cara agar kami tetap dekat
dengan-Nya. Karena sabar, dapat menaikkan derajat seorang hamba dihadapan
Rabbnya. Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
***
Bondowoso, 15
oktober 2015
23:00 WIB
Komentar
Posting Komentar