Cerpen
Kulukis Masa Depanku dengan Keringat Masa Mudaku
Oleh :Nuril Qomariyah (Coccom)
Mataku terkapar
menatap jauh ke balik jendela bilah-bilah bambu di ruang tamu. Inilah istanaku
gubuk penuh canda dan tawa yang nampak reyot di setiap sisi dan lubang-lubang
tikus rumah di sudut ruangan turut menghiasi isatan kecilku. Kara begitulah
orang biasa memanggilku untuk membantu mengangkut kayu atau apalah itu dengan
upah selembar uang lima ribu rupiah setiap kali mereka memakai jasaku. Jika
petang datang aku akan bergegas ke pasar mendatangi pedagang yang akan bergegas
pulang dan dengan peluh bercucuran aku pikul karung-karung beras yang akan
mereka bawa pulang ke rumah. Itulah aku, Kara anak sebatang kara yang tinggal
bersama kurnia adik perempuanku yang masih berusia lima tahun. Aku tak punya
dunia tapi dunia akan berada di genggamanku.
“Kara kamu tidak
sekolah hari ini?” tanya salah satu pedagang di pasar. “Tidak Mak, tidak ada
beras buat di masak nanti malam.” jawabku sembari mengangkat karung-karung
penuh dengan sayuran milik pedagang di pasar.
Aku terpaksa
merelakan hari ini untuk tidak sekolah karena tidak ada sisa beras untuk
makanku dan Kurnia nanti malam. SMA 1 Harapan itulah sekolah tempatku menimba
ilmu saat ini, dengan penghasilan yang pas-pasan aku berusaha untuk tidak putus
harapan dalam mengejar cita-cita karena dengan pendidikan aku bisa merubah jalan hidupku. Untunglah pihak sekolah
mengerti akan keadaanku jadi walaupun aku sering menunggak uang bulanan petugas
TU tidak pernah menagihku secara langsung, mereka biasanya mengingatkanku
dengan berkata “Kara nanti kalau ada
kelebihan rezeki uang bulanannya jangan lupa untuk dibayar ya.” begitulah biasanya petugas TU
mengingatkanku. Dan aku juga tidak lupa jika upah yang aku terima ada lebihnya
aku sisihkan untuk nantinya aku setorkan kepada petugas TU.
~_~
“Kara... Dipanggil Pak Agus tuh di kantornya.”
kata Pras saat aku baru memasuki ruang
kelas. “Ada apa Pak Agus memanggilku?” tanyaku penasaran. “Entah aku juga ndak
tau...” Pras berlalu dari hadapanku. aku langsung berjalan menuju ruangan Pak
Agus, Kepala Sekolahku.
“Permisi Pak.”
ucapku saat memasuki ruangan Pak Agus. “Kata Pras Bapak memanggil saya?”
tanyaku. “Iya Kara. Jadi begini bapak ingin
menunjukmu sebagai delegasi sekolah
dalam ajang siswa teladan di Bandung bulan depan.” kata Pak Agus sembari
memberiku selembar brosus yang isinya berbagai macam lomba yang akan digelar
dalam ajang siswa teladan tersebut. “Tapi Pak, saya tidak punya bakat apa-apa.”
kataku dengan wajah meyakinkan.
“Ah, kamu ini Kara
sudah pinter, baik juga rendah hati, bapak salut dengan kamu. Dalam ajang
tersebut kamu dapat mengikuti cabang lomba baca puisi atau melukis karena menurut beberapa guru kamu
jago dalam dua hal itu.” ujar Pak Agus dengan wajah bersemangat. “Jangan memuji
saya seperti itu Pak! Saya jadi tidak enak.” kataku sedikit mkenunduk.
“Jadi gimana Kara
kamu mau kan iku?” Pak Agus bertanya penuh harap. “Saya terserah bapak saja.
Tapi saya tidak ada biaya untuk ke Bandungnya pak.” kataku sambil menunjuk
tempat pelaksanaan lomba di brosur. “Untuk masalah biaya kamu tidak usah ikut
berfikir, sekarang tugasmu adalah belajar dan terus berlatih agar dpat
mempersembahkan yang tebaik untuk sekolah kita.” kata Pak Agus dengan wajah
sumringah.
“Tapi pak...?”
“Ada apalagi Kara?” tanya Pak Agus. “Saya harus mencari uang untuk
makan adik saya di rumah. kalau saya
tidak bekerja sepulang sekolah bagaimana Pak?” tanyaku dengan wajah gelisah. “Masalah
itu tidak usah kamu fikirkan selama kamu mempersiapkan diri untuk lomba itu semua
biaya hidupmu dalam arti makan akan sekolah tanggung.” kata Pak Agus membuat
wajahku berbinar.
“Sungguhan Pak?” tanyaku tak
percaya.
“Iya bapak serius. Mulai sekarang kamu fokus aja untuk lomba itu
ya, Kara.” kata Pak Agus sambil menepuk bahuku.
“Baik pak saya akan berikan yang terbaik untuk sekolah ini. Mungkin
saya akan memilih lomba melukis saja Pak. Saya kembali ke kelas ya Pak.” kataku
dan keluar dari ruangan Kepala Sekolah.
Keesokan harinya
setiap pulang sekolah aku selalu latihan melukis hingga petang datang dan dari
sekolah aku langsung menuju pasar untuk kegiatan rutinku, karena jika hanya
mengandalkan uang sekolah tidaklah cukup.
Sekolah
mendatangkan pelatih dari salah satu Sanggar Seni yang terkenal di kotaku.
Setiap hari aku berlatih untuk membuat lukisan-lukisan baru yang menarik dan
penuh kreatifitas. Selain berlatih di setiap penghujung malam aku selalu
bersimpuh dihadapan Tuhan agar nantinya aku mendapatkan yang terbaik.
~_~
Satu bulan waktuku
berlalu untuk latihan melukis dan kini aku tengah berdiri di depan Kantor Dinas
Pariwisata Kota Kembang, Bandung. Tepat jam 08:00 perlombaan dimulai. Tema
lukisan ditentukan saat itu juga, jadi aku masih mengawang-awang lukisan apa
yang akan ku goreskan diatas kanvas putih ini. Untunglah tema yang panitia
berikan tidak terlalu sulit dan aku sudah pernah membuatnya ketika latihan
bersama pelatihku dulu.
Empat jam waktu
yang disediakan panitia terasa sangat singkat. Untunglah seluruh kanvasku telah
penuh dengan goresan tinta penuh warna dan aku sangat puas dengan hasil jerih
payahku ini tentunya atas bimbingan pelatihku dan pertolongan dari Allah Tuhan
yang Maha Berkuasa.
Setelah sekitar
satu jam menunggu juri mendiskusikan lukisan yang akan menjadi pemenang
jatungku berdebar rasa gelishah, takut berkumul jadi satu, aku resah jika
ternyata namaku tidak di sebut, aku takut mengecewakan sekolahku yang telah
banyak berkorban untukku.
Dan benar saja
rasa takutku menjadi kenyataan diantara ketiga juara yang disebutkan tidak ada
namaku disana ragaku langsung lemas, namun aku masih bersyukur mukin ini yang
terbaik dan pastilah ada hikmah dibalik semua ini.
~_~
Malam harinya aku
bersama Pak Tomi yang kala itu mendampingiku ke Bandung berkeliling untuk
melihat-lihat hasil lukisan peserta-peserta lain yang dipajang di Aula Dinas
Pariwisata Kota Bandung. Saat tengah berkeliling ada seeorang yang menepuk
bahuku dari belakang.
“Maaf, apa adik Kara Kurniawan delegasi dari sekolah SMA 1 Harapan
yang lukisannya ada di ujung sana?” tanya bapak itu sambil menunjuk ke arah
lukisanku.
“Iya betul Pak saya Kara Kurniawan.” jawabku sedikit bingung. “Jadi
begini saya sangat tertarik dengan lukisan yang adik buat dan saya berniat
untuk membelinya dengan harga tinggi.” kata bapak itu kumis diwajahnya
menandakan berkata bahwa ia orang yang tegas.
“Lukisan saya tidak bagus kok Pak, lihat saja saya tidak
mendapatkan juara dalam perlombaan ini.” kataku malu.
“Menurut saya lukisan adik itu mengandung makna yang tersirat di
dalamnya dan sangat menarik siapa saja yang melihatnya. Menjadi juara juga
tidak menjamin lukisan itu bagus kan? Saya juga ingin memesan lukisan-lukisan
adik yang lain yang sekiranya dapat menghiasi dinding kosong di kantor saya.” kata bapak itu meyakinkanku.
“Baiklah jika Bapak memaksa saya terima tawarana Bapak. Kalau boleh
saya ingin meminta nomor Hp Bapak. untuk memudahkan saya nantinya ketika akan
mengirimkan lukisan.” kataku dan mencatat nomor Hp bapak itu.
~_~
Sudah banyak
lukisan yang aku kirim ke Bapak yang waktu itu kutemui di tempat lomba serta
beberpa orang dari luar kota yang sekedar memesan lukisan untuk hiasan di rumah
mereka, dan kini aku memiliki tabungan sendiri yang cukup untuk biaya hidupku
dan adikku Kurnia sehari-hari. Hikmah yang tuhan berikan ternyata sangatlah
manis, hidupku yang dulunya serba kekurangan kini telah Ia cukupkan. Dan kini
aku dapat menakar masa depanku dan juga masa depan adik kecilku. Meskipun kita
hidup tanpa asuhan orang tua. Aku Kara Kurniawan dan kini dunia serasa akan
segera ku genggam bersama semua mimpi besarku.
Banyak pepatah
yang mengatakan bahwa hidup itu layaknya roda, mukin dulu kehidupanku masih
berada di bawah namun seiring berjalannya waktu roda kehidupan akan terus
berputar namun satu yang harus kita ingat yakni bersyukur dan tidak kufur atas
nikmat yang kita terima karena semuanya hanyalah titipan dariNya.
|Dare to Dream BIG|
Komentar
Posting Komentar