Cerpen

Hijrahku Atas AsmaMu

 “Jika ada seorang muslim hanya sekedar beriman, tanpa adanya pengamalan ibadah, lalu apa bedanya ia dengan seorang atheis?” aku tertegun dengan pertanyaanku sendiri. Entah mengapa pertanyaan tersebut meluncur seketika dari bibirku. Kulihat dengan seksama wajahnya, ia tetap tenang meski telah mendengar pertanyaan gilaku. Tidak seperti wajah peserta seminar yang menatap nyinyir ke padaku. Dia menjawab pertanyaanku dengan seberkas senyuman manis di bibirnya, “Perbedaan seorang muslim dan seorang atheis adalah iman. Iman letaknya di hati. Saya rasa Anda cukup cerdas untuk menyimpulkan sendiri maksud dari jawaban saya.” tepuk tangan membahana di aula kampus yang cukup megah. Jawaban yang ia lontarkan mampu membuat peserta seminar terkesima, sangat jelas dari jawabannya itu ia memiliki intelektualitas yang sangat tinggi terutama dalam bidang agama.
Seminar kemarin membuatku terus terbayang dengan wajah cantik si narasumber yang tak sempat kuketahui namanya. Sedikit rasa menyesal hinggap di hatiku, jalanan yang macet membuatku terlambat hadir hampir 30 menit. “Sial.” Jawabannya yang lugas mampu membuatku terpesona, meski aku yakin ia tahu aku hanya ingin menguji kemampuan intelektualnya.
^_^
Dari musholla sebelah terdengar suara Pak RT mengumunkan pengajian rutin malam Rabu, untunglah malam ini agendaku lenggang sudah dua minggu aku tak hadir di pengajian Pak Ustad.
Aku mematung di pintu mushollah, di shaff wanita ada seseorang yang tak asing bagiku. Wanita itu, wanita yang menjadi narasumber acara seminar kampus hadir di pengajian mushollah. “Akhh... kenapa harus bertemu dengan dia lagi sih?” gumamku dalam hati. Aku palingkan wajahku. Berharap dia tak melihatku atau bahkan mengenaliku. Namun ada gejolak dalam sanubariku, aku ingin sekali berdialog dengannya mengkaji berbagai hal, karena aku tahu dia memiliki tingkat keilmuwan yang tinggi.
Selama pengajian berlangsung pikiranku tak menangkap apa yang disampaikan oleh Pak Ustad. Ya, wanita itu terus hadir di pikaranku. Ingin rasanya aku memalingkan wajah ke belakang untuk memastikan dia masih duduk tenang disana dan tak menghiraukan keberadaanku.
Aku langsung bergegas keluar dari musholla untuk menghidari wanita itu. Benar apa yang disampaikan salah satu dosenku kalu sudah jalanmu tak akan menjadi jalan orang lain. Sesuai dengan ayat terakhir Surat Al-Kafirun, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” wanita itu sudah berada di luar mushollah sepertinya dia sedang menunggu seseorang, apa mungkin dia tahu aku hadir di pengajian ini. semua seakan bercampur aduk di pikiranku, dan sesaat kemudian dia telah memalingkan wajahnya ke arah ku. Ya! dia menatapku dan melangkah pasti kearahku. Perutku berputar tak karuan.
“Anda peserta seminar beberapa hari yang lalu, bukan?” dia bertanya kepadaku. “ Eh, iya saya yang waktu itu bertanya, mbak.” jawabku dengan sedikit grogi. “Ikut pengajian ini juga?” dia bertanya lagi “Iya saya rutin mengikuti pengajian rutin Pak Ustad setiap minggunya. Kamu baru sekarang ikut pengajian ini ya?” tanyaku.
“Izza, ayo pulang!” suara Pak Ustad yang datang tiba-tiba sedikit mengagetkanku. “Oh iya, Abah. Saya ke mobil dulu.” aku tercengang dia memanggil Pak Ustad dengan sebutan ‘abah’, apa mungkin dia?? Ah tidak mungkin.
“Kok melamun, Nak!” Pak ustad membuyarkan lamunanku yang menatap kosong kearahnya yang berlalu dan masuk ke dalam mobil hitam yang berdiam kaku di luar area mushollah. “ Eh, tidak Pak Ustad, tidak apa-apa.” jawabku sedikit gugup. “Ya sudah, saya pulang dulu kasihan putri saya jika harus menunggu lama di dalam mobil, Assalamu’alaikum.” salam pak ustad kemudian berlalu dan memasuki mobil yang sama dengan wanita itu. Aku masih kembali tertegun tak percaya, dia wanita yang bernama Izza, adalah putri dari Pak Ustad.
^_^
            Tiga minggu sudah, aku selalu menjadi orang yang ke-rajin-nan hadir di Pengajian Malam Rabu-nya Pak Ustad. Mamakai pakaian terbaikku, wangi-wangian yang baunya menyengat, dan tak lupa dengan kopiah baru bertengger di kepalaku. Tentu saja semua ini kulakukan untuk si wajah cantik, Izza, anak Pak Ustad. Parasnya yang cantik daan tutur katanya yang lembut membuatnya selalu betah belama-lama di pikiran dan hatiku. Aku selalu menikmati pertemuan 5 menit yang selalu aku dan Izza sempatkan selepas pengajian usai. Biasanya Pak Ustad masih bercengkrama dengan tokoh setempat, sehingga membuatku leluasa menemui putrinya meski hanya sekejap.
            Du..duu..du..duu.. Aku bersenandung bersama pagi yang cerah. Malam tadi Izza mengajakku berkunjung ke rumahnya. Seperti halnya yang dikatakan orang-orang, kita harus bisa bersikap baik di hadapan calon mertua. Ahh, calon mertua. Aku ingin tertawa memikirkan hal itu.
           Kakiku terhenti di depan sebuah rumah yang sederhana. Tak kusangka yang menyambutku adalah Pak Ustad, seseorang yang Izza panggil Abah. Fyuhh.. inilah saatnya bagiku untuk menjadi pria sejati. Tak dapat kupungkiri, nyaliku mulai menciut. Pakaian rapi, dan wangi-wangian yang kupakai tak dapat membantuku untuk menutupi rasa grogi.
            “Assalamu’alaikum.” Aku mengucapkan salam dengan ragu-ragu.
            “Wa’alaikum salam. Masuk, Nak.”
            “Hehe, iya Pak. Saya grogi nih.” Aku mulai kagok.
            “Ah, biasa saja. Izza masih di dalam, bincang-bincang sama saya tidak apa-apa kan?”
            “Hehe, boleh saya terus terang, Pak. Sebenarnya saya ini suka dengan anak Bapak. Saya ingin melamar anak Bapak.” Gayaku yang santai membuatku sedikit menyesali hal itu
            “Hahahah..” Pak Ustad tersenyum padaku.
            “Tapi, Pak. Jujur saja, saya ini bukan seorang muslim dan alim. Saya ini atheis, Pak.” aku menunduk menjelaskan.
            Tak ada jawaban. Hening.
            “Tapi setelah saya bertemu dengan Izza. Semuanya berubah. Saya ingin masuk Islam. Kebetulan hari ini saya berhadapan dengan Bapak, saya ingin bersyahadat di depan Bapak.” kuberanikan diri meneruskan kalimatku. Aku masih menunduk malu dan takut.
            “Maaf, Bah. Saya tidak mau dinikahi orang ini.” suara wanita yang kukenal. Suara Izza. Nada suaranya meninggi.
            Kuangkat wajahku, kupandangi Izza. Ia menunduk dan menangis. Izza menangis. Salahkah aku? Kutatap wajah Pak Ustad, meski raut wajahnya tenang namun jelas terlihat ada pikiran yang mengganjal hatinya.
            Semua orang di ruangan ini terdiam. Tak ada yang bersuara. Bagiku, seakan dunia ini menyempit menjadi satu dalam ruang tamu ini.
            “Saya tidak mau dinikahi oleh orang yang tidak sungguh-sungguh dengan imannya. Pernikahan bukan mainan begitu pula dengan sebuah pernikahan. Abah, saya menolak lamarannya.”
            Hatiku bak disambar petir setelah mendengar jawaban dari Izza. Perasaanku campur aduk menjadi satu. Bukan sakit yang kurasakan. Aneh. Aku mengiyakan perkataaan Izza. Ia benar, aku hanya ingin menarik hati dan perhatiannya. Apa yang harus kulakukan setelah penolakan ini?
            Ya Tuhan, tolong aku.
            Ya Tuhan? Ini pertama kalinya aku menyebut kata Tuhan. Tapi, hati ini merasa lega.
^_^
Pasca kejadian hari itu aku mencoba untuk tak memikirkan Izza lagi. Perkataannya waktu itu menusukku hingga aku mati rasa tak mampu membedakan kebahagiaan dan kepedihan.
Langkah kaki yang bimbang membawaku hijrah ke tanah jawa, aku ingin memperdalam ilmu agamaku dan memperkuat keimanan dalam hatiku, di sebuah pesantren yang mahsyur kala itu menjadi persinggahan hatiku yang tengah tergores kata-katanya. Aku mengikuti semua saran dari Pak Ustad, semua ilmu yang ada pesantren aku tekuni.
Pengabdian yang tulus aku lakukan. Aku ingin sejenak untuk melupakan kisah hatiku yang pilu. Satu hal yang ingin aku dapatkan dari pengabdian mencari ridho Ilahi ini, yakni hakikat keimananku yang tak terkontaminasi  dengan mimpi-mimpi duniawi yang tiada abadi.
^_^
Sore itu di sebuah mushollah kecil di tengah-tengah komplek perumahan mentereng, berlangsung kajian agama dengan seorang ustad muda yang nampak fasih dengan ilmu agama. Ustad itu adalah aku, aku yang kini menyebarkan ilmuku melalui pengajian untuk warga sekitar komplek perumahan.
Setelah kiai di pesantren memerintahkanku untuk menyebarkan ilmu yang aku dapat di pesantren selama ini, aku memutuskan  untuk menetap di pulau jawa dan mencari tempat yang mau menerima kehadiranku. Disebuah perumahan yang bisa dibilang dihuni oleh mereka yang berduitlah, aku tinggal dan menjalani kehidupan baruku.
Bermula dari diskusi suatu sore di hari rabu yang tenang dengan beberepa pelajar di perumahan, kini kegiatan diskusi kecil-kecilan itu berkembang menjadi pengajian rutin hari rabu yang dihadiri oleh puluhan warga komplek mulai dari remaja hingga orang tua hadir memenuhi ruangan mushollah yang berukuran standart itu.
“Saya ingin bertanya. Jika ada seorang muslim hanya sekedar beriman, tanpa adanya pengamalan ibadah, lalu apa bedanya ia dengan seorang atheis?” pertanyaan itu membuatku melayang ke suatu masa dimana dihari itu hadir bidadari yang mampu mengoyak hatiku yang kini mati rasa ini. Mengapa pertanyaan itu harus muncul kembali dihidupku? Mengapa harus dengan pertanyaan yang sama? Mengapa harus seorang wanita yang bertanya?
Aku mencoba untuk menepis semua kenangan masa lalu itu, aku tak ingin mengecewakannya yang bertanya. Aku mengingat kembali jawaban yang Izza lontarkan kepadaku kala itu, dan dengan yakin ku jawab pertanyaan yang wanita itu. “Jadi begini. Perbedaan seorang muslim dan seorang atheis adalah iman. Iman letaknya di hati. Saya rasa Anda cukup cerdas untuk menyimpulkan sendiri maksud dari jawaban saya” kata-kata yang keluar dari lisanku tak lain adalah jawaban yang Izza ia sampaikan di seminar kampus beberapa tahun silam.
^_^
Wanita yang bertanya waktu itu di pengajian mushollah berhasil memikat hatiku. Aku tak ingin kejadian beberapa tahun yang lalu terulang kembali, aku ingin langsung bertamu kerumahnya dan meminangnya menjadi kekasih dunia dan akhiratku. Aku meminang dia karenaNya bukan karenanya. Semua hanya karenaNya semata, tak ada cinta yang abadi selain hakikat cintaNya. Semoga ia benar-benar menjadi cinta yang akan membawaku kembali pada-Nya.
^_^
Perjalanan panjang yang aku alami selama ini menarikku pada satu titik temu yang menjadi prinsip dalam hidupku saat ini. Semua yang kita lakukan bukan karena Allah akan hanya menjadi angan-angan belaka yang tak akan pernah kita peroleh. Namun, jika kita ikhlas melakukan semua dengan niatan beribadah dan mencari ridhoNya semua yang kita harapakan akan menjadi nyata. Aku Syamil Tsabit, aku berhijrah atas asmaMu Ya Rabb...

End...

#Coccom & Ilma

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Hidup dari Abah K.H. Imam Barmawi Burhan

Wajah Wajah Kemaren Lusa

MyBIGDream dan Resolusi di tahun 2017 ^^