Cerpen
SENANDUNG LUKA
Oleh
: Nihayatun Nuril A.
Gerimis menyapu keindahan cakrawala, tiupan angin membawa rasa
dingin, matahari sudah sepenuhnya berlalu, namun hari terasa gelap meski ada
rembulan, ternyata ulah awan hitam yang menutupi sinarnya, dari balik jendela
ku amati setiap butiran air yang
menyentuh tanah, sungguh Maha Agung Sang Pencipta alam semesta ini. Dia
menurunkan hujan sebagai karunia, untuk menghidupkan tanah yang gersang.
Seperti Dia menganugrahiku seorang gadis cantik seperti Tiara. Gadis berparas
ayu yang kutemui di halte bus, orangnya sangat sederhana, walau tanpa ulasan
make-up dia tetap terlihat begitu menawan.
Sayang, impianku untuk bisa bersanding dengannya harus terkubur
dalam-dalam, aku dan dia bagaikan langit dan bumi yang takkan bersatu, dia bak
putri raja, sedangkan aku? Aku hanya pemuda miskin yang tak punya apa-apa, aku
hidup dengan ibuku yang sering sakit-sakitan, kadang aku menyesal atas
takdirku. Mengapa aku harus terlahir dikalangan seperti ini? Namun, ibu selalu
mengingatkanku bahwa hidupku tak selamanya seperti ini, asalkan aku bisa
merubahnya, seperti roda, kadang di atas, kadang pula di bawah.
#-#
“Tok . . . Tok . . .Tok . . .” ku dengar suara ketukan dari luar,
aku menuju pintu lalu membukanya. Kontan aku kaget saat melihat Tiara dengan
pakain yang basah kuyup. Tiara memelukku.
“Ra, apa yang terjadi sama kamu?” tanyaku.
“Ayyub . . . bawa aku pergi dari sini!”
Bllas . . . ucapan
Tiara membuatku sangat terkejut, tak pernah tergiang dalam benakku bahwa Tiara
akan berkata seperti ini, aku melepas pelukannya “Jangan gila kamu Ra!”
“Aku memang sudah gila Yub, papa memaksaku untuk menikah, aku nggak
mau, aku cuma ingin nikah sama kamu” tangis Tiara pecah.
Hatiku resah, ada
gejolak ingin menuruti keinginannya, tapi jauh didalam nuraniku, aku tak berani
membawanya pergi, sama saja aku telah berbuat dosa. Aku tak tahu harus
bagaimana.
“Ayyub! Kenapa kamu diam, apa kamu tidak mencintaiku?”
“Aku mencintaimu Ra, tapi bukan dengan seperti ini?”
“Gak ada jalan lagi Yub, atau kamu mau melihat aku menikah dengan
orang lain, itu mau kamu Yub?”
Aku mendekapnya
erat, tak ada jalan lagi kecuali menuruti permintaannnya, meski ku tahu ini
cara yang salah. Karena aku tak ingin
kehilangan Tiara, aku sangat mencintainya. Ku masukkan baju-bajuku ke
dalam ransel hitam milikku, keputusanku sudah bulat, aku akan membawa Tiara
pergi dari desa ini, mengapa perasaanku tidak enak seperti ini
“Yub . . . kendalikan nafsumu, kamu lelaki beragama, tak
sepantasnya melakukan hal semacam ini” nasihat ibu
“Ma’af Bu, tak ada jalan lagi, Ayyub tak ingin kehilangan Tiara”
“Mungkin Tiara bukan jodohmu Nak, cinta bukan segalanya”
“Sekali lagi Ayyub minta ma’af Bu, Ayyub tetap akan pergi” ucapku
lalu mencium kening ibu. Aku merasa bahwa aku telah berdosa pada ibu, sebelum
ku langkahkan kaki meninggalkan istana kecilku bersama ibu, ku lihat air mata
ibu menetes, mengalir dipipinya. Ya Allah, ampuni aku, aku benar-benar tak
punya cara lain.
Tiga hari
meninggalkan kampung, aku dan Tiara terus melangkah entah kemana, terus aku
genggam tangannya karena aku takut kehilangannya, sejak awal aku mengiyakan
permintaannya berarti aku harus bertanggung jawab atas dirinya, aku tak tahu
harus membawa Tiara kemana, yang aku pikirkan saaat ini, aku tetap bersamanya,
langkah kami berhenti ketika aku dengar ponsel Tiara berdering, beberapa saat
setelah bericara dengan seseorang di telepon, Tiara menatapku dalam, seperti
ada sesuatu yang ingin dia bicarakan padaku
“Yub, kita pulang sekarang, Papa sadar akan ke salahannya selalu
memaksaku untuk menikah dengan pilihannya, papa mau menerima kamu dan, Papa
akan segera menikahkan kita.”
Aku memeluknya
erat, ternyata caraku yang awalnya ku anggap salah membuahkan hasil. Akhirnya
papa Tiara mau menerima hubunganku dengan putrinya. Aku dan Tiara tak sabar
ingin cepat sampai rumah, aku sudah membayangkan nantinya aku akan hidup
bahagia, menjadi suami Tiara, menjadi ayah dari anak-anaknya nanti. Ahhh . . . Ini
adalah kebahagiaan besar dalam hidupku.
Tanpa terasa, kini
aku berdiri di depan kediaman Tiara yang
bak istana. Kedua orang tua Tiara menyambut Tiara dengan suka, aku menyaksikan bagaimana kerinduan orang tua
terhadap anaknya, aku semakin merasakan berdosa pernah memisahkan mereka. Papa Tiara
mendekat ke arahku lalu merangkulku, sebuah kejadian yang tak pernah ku duga
terjadi, papa Tiara menuntunku masuk kedalam rumahnya.
“Ibumu sudah didalam, sebentar lagi penghulu akan datang.” ujarnya
lembut.
Akhirnya impianku
akan terwujud juga, tinggal menghitung detik,
semua mimpiku akan menjadi nyata. Ketika kulihat ibu, langsung ku peluk
dan menciumnya. Bersujud di kakinya seray memohon ampun, aku telah berdosa
padanya. Semuanya tengah berkumpul di ruang tamu, tinggal menunggu pak
penghulu, tapi entah rumah Tiara. Aku tak sabar ingin cepat bertemu dengannya,
apakah dia mau menerima kehadiranku dengan fisik seperti ini? Tapi Tiara
bukanlah gadis memandang pria dari fisik
“Ahh . . . mereka sudah
datang “ ucap papa Tiara,
Aku menoleh, kaget
bukan main. Bukan seorang penghulu yang datang, tapi dua orang polisi yang siap
menangkapku.
“Pak, apa maksud ini semua?”
“Bawa saja dia Pak, dia sudah membawa lari anak saya!”
Jggeer!! Aku tak
menyangka jika semua ini hanya sandiwara papa Tiara, dia menjebakku, ku lihat
ibu yang terus menangis melihatku di paksa ikut dua polisi ini, tiba-tiba ibu
sesak nafas dan tak sadarkan diri, aku berhambur memeluk ibu.
“Bu . . . Ibu” teriakku histeris
Tapi tak ada
jawaban, detak jantungnya tak ku dengar lagi, apa mungkin ibu?? Ahh . . tidak!! Ibu tidak
mungkin pergi secepat ini.
“Ibu anda sudah pulang kepangkuan Tuhan!” ujar salah satu polisi
itu
“Tidak!! Ibuku masih hidup, Ibu . . . bangun Ibu . . . ma’afkan Ayyub
Bu.” tangisku semakin jadi, ku peluk wanita ini tuk terakhir kalinya, malaikat
pelindungku sudah ke pangkuan Tuhan. Aku anak durhaka, seharusnya waktu itu ku
dengarkan nasihat ibu agar tak mengikuti ke inginan Tiara. Aku pembunuh ibuku
sendiri. Tuhan ma’afkan aku!!
“Ayyub . . . ayyub . . . aku janji gak kan nikah sama orang lain,
aku akan tunggu kamu “ teriak Tiara. Aku tak mengubris kata-katanya, saat ini,
dalam hatiku di penuhi kebencian. Benci kepadaku sendiri dan benci terhadap
papa Tiara yang menurutku adalah jelmaan iblis.
#-#
Di pertengahan
malam yang sunyi, ku habiskan waktuku bersujud pada Allah memohon ampunan-Nya
atas segala dosaku. Air mataku rasanya tak pernah berhenti menetes, aku anak
durhaka kata-kata itu yang selalu terlontar dari mulutku. Sekarang, aku tak
punya siapa-siapa lagi, aku sendiri di balik jeruji besi ini, meratapi nasibku
yang malang. Ya, mungkin ini adalah balasan anak durhaka sepertiku. Dalam
keadaan seperti ini pun, aku tetap mengingat wajah cantiknya, apa kabar pujaan hatiku??
Cinta membuatku buta dan kehilangan arah, benar kata ibu. Cinta bukan
segalanya.
#-#
Ku hirup udara
sejuk pagi ini sepuasku, setelah tujuh tahun kuhabiskan waktuku di balik
penjara itu, akhirnya hari ini aku bisa merasakan kembali indahnya suasana
luar, meski sering kali ku dengar cemohan orang-orang padaku, aku tak peduli,
aku menganggap itu angin lewat, meski orang masih menyebutku seorang NAPI, aku
tak peduli. Biarlah Allah yang menyaksikan kisah hidupku yang sesungguhhnya.
Saat yang ku nanti ahirnya tiba, aku sekarang berdiri di depan pagar wanita
yang telah membuatku terbuai cinta. Tiara.
“Pak, Pak, mau tanya, ini
rumah Pak Wijaya ya?” tanya aku pada seorang lelaki yang kebetulan lewat
“Iya benar nak, kamu percuma cari Pak Wijaya, orangnya gak ada
disini.”
“Loh, memangnya ada dimana Pak?”
“Meninggal, Pak Wijaya kecelakaan lima tahun yang lalu”
“Innalillahi wainnali ilaihi raji’un . . .”
Meski aku sempat
membencinya, tapi aku ada rasa berduka atas kepergiannya, pasti hati Tiara
sangat terpukul dengan peristiwa ini, sama halnya ketika aku kehilangan ibu,
tujuh tahun lalu, perlahan aku memasuki halaman rumah Tiara, pintunya terbuka,
jadi kemungkinan Tiara masih tinggal disini.
Lagkahku terhenti
ketika melihat seorang gadis berusia enam tahun yang sedang bergurau dengan
seorang lelaki seusia Tiara, “Mungkinkah itu...?” batinku.
Ketika aku semakin
ingin mendekat pada dua orang itu, hatiku mendadak sakit. Seorang wanita yang selama ini ku cintai tengah
bergabung bersama dua orang itu, mereka seperti sebuah keluarga yang bahagia
yang harmonis. Benarkah itu Tiara? Gadis yang tujuh tahun lalu mengajakku lari?
Bagaimana ini semua terjadi? Bukankah dia pernah berjanjiakan menungguku?
Sekarang, yang kulihat bukan seorang kekasih yang tengah menunggu kekasihnya,
tapi seorang kekasih yang berkhianat.
“Assalamualaikum ” ujarku
Kontan mereka bertiga menatapku namun, anak gadis itu sepertinya
ketakutan melihatku “Ma’af, anda mencari siapa?” tanya lelaki itu lembut “Awalnya
saya mencari separuh hati saya disini, tapi ternyata separuh hati saya telah dimiliki
oleh hati yang lain.”
Tiara menunduk. Sedang aku terus menatapnya “Ma’af, saya mengganggu
waktu kalian semoga kalian bahagia. Permisi . . .” kulangkahkan kaki
meninggalkan halaman rumah Tiara.
Sekarang semuanya seakan menertawakanku. Langit bumi juga isinya
sedang menghinaku karena aku yang di butakan oleh cinta. Karena cinta, ibuku
pergi. Karena cinta kujalani kisah hidup penuh luka. Aku benci cinta! Benci
wanita! Benci Tiara! Hanya ada satu wanita yang tak ku benci, yaitu ibuku. Ibu...
Ma’afkan anakmu kini aku benar-benar menyesal, akankah ibu memaafkan anakmu
yang durhaka ini??
Air mataku menemani setiap langkah kakiku, aku tak tahu dimana kala
ini akan berpijak, aku seperti sitti majnun karena cinta. Oh cinta diamana ke
adilanmu untukku? Tak henti kusalahkan diriku sendiri, dalam kesendirian ini,
aku baru menyadari, masih ada Allah yang bersamaku. Harapanku hanya satu,
melupakan nama Tiara dari hidupku, aku mencintainya namun rasa benci kepadanya
mengakar kuat dalam hatiku. Hati yang tengah bersenandug sendu, senandung luka
dari kalbu.
@Nihayatun Nuril Afifah
Sumenep,
Madura
Komentar
Posting Komentar