Cerpen

NAFISAH
Oleh: Nihayatun Nuril A.

“Kak, tolong kembali” ujar Nafisah. Gadis yang begitu aku cintai karena Allah.
Insyaallah, aku pasti kembali dik.”
“Semoga ridho Tuhan selalu menyertai langkahmu Kak.”
“Amin.”
            Aku tersenyum getir tatkala mengingat pertemuanku dulu dengan Nafisahh, gadis pemilik hatiku yang saat ini masih berada di pesantren. Sudah dua tahun aku meninggalkan madura, kampung tercintaku. Meninggalkan ayah dan ibuku, serta meninggalkan gadis pujaanku. Aku tak sabar ingin kembali dan ingin bertemu dengan mereka, kerinduanku sudah menggebu-gebu.
            “Nafisahh... Semoga dalam penantian ini kau tetap berbahagia,” kubergumam dalam hati, aku menghembuskan tubuhku ke sofa, menghayalkan keberadaannya disisiku.
            Menatap rembulan nan jauh disana, mendengarkan suara alam dan merasakan betapa lembut angin membelai kulit. Namun, aku sadar, dia jauh di mata. Ingin ku rengkuh namun tangan tiada sampai, hanya batin di jiwa inilah yang bisa membelainya, memeluknya, mengelus rambutnya dalam bayangan.
            Aku tak sabar ingin pulang, menemuinya dan melamarnya. Ahh . .  kapan saat itu tiba?
“Assalamualaikum Hamka...!” suara lembut yang tak asing bagiku dari luar kosan.
“Waalaikum salam” jawabku seraya membuka pintu. Ku dapati seorang gadis arab berdiri di daun pintu. Latifah.
“Hamka, ma’af aku menganggumu” ujranya lembut.
“Tidak sama sekali, memangnya ada apa?”
“Abah ingin kamu menemuinya”
“Sekarang?
            Latifah hanya mengangguk, dengan seulas senyum yang kadang membuat hatiku bergetar, tapi pesona Nafisahh tidak bisa tergantikan  oleh siapapun.
“Aku ganti baju dulu sebentar.”
            Aku mengenakan baju koko warna putih kesukaanku. Abah Latifah adalah dosenku, jadi aku harus berpenampilan sopan jika bertemu dengan beliau. Mobil milik latifah berhenti di depan sebuah bangunan besar berlantai dua, aku keluar dari mobil dan mengikuti langkahnya, tiba di ruang tamu, ku dapati beliau sedang membawa buku, aku mengucap salam seraya mencium punggung tangannya dengan takdzim. Beberapa menit kemudian, latifah meninggalkan kami berdua,
“Begini hamka, setelah dipikir-pikir, usiaku sudah semakin tua sedangkan aku hanya memiliki satu putri Latifatun Nisa, aku ingin putriku segera menikah dengan orang yang menurutku pantas menjadi pendampingnya. Kamu tahu siapa orang itu?”
Aku menggeleng kepala “Tidak Pak.”
“Orang itu kamu Hamka!”
            Aku kaget bukan main, bahkan ucapan beliau barusan tak pernah sedikitkpun terlintas dalam benakku. Beliau tak hanya memintaku berta’arruf dengan latifah, melainkan menikah. Suatu kewajiban setiap muslim, tentu aku  juga ingin menikah, tapi dengan gadis pilihan hatiku. Menikahi seorang putri dosen terkenal di Yogyakarta adalah suatu kehormatan dan kebanggaan yang besar, tapi bagaimana akankah aku menikahinya bila orang yang ku cinta bukan dirinya.
“Hamka ... !” ucapnya lirih
“Saya... Saya belum siap menikah Pak.”
“Aku tidak menyuruhmu menikah sekarang, aku ingin kau beristikharah dulu.”
Insya Allah, akan saya istikharahkan dulu Pak.”
Alhamdulillah, semoga apa yang bapak harapkan terwujud” ucapnya seraya menyentuh pundakku.
Aku tersenyum kecil, tak ada ke bahagiaan yang aku rasakan saat ini, melainkan kegelisahan. Beliau sangat berharap aku menjadi menantunya, sedang aku berharap menjadi suami dari Nafisah, gadis yang teramat aku cintai. Aku melangkah keluar meninggalkan rumah Latifah, tiba-tiba langkahku terhenti mendengar Latifah memanggilku.
“Hamka, aku tahu, kamu tidak akan setuju dengan permintaan Abah.” ucapnya lirih.
“Fah, aku bingung harus berbuat apa.”
“Aku mengerti bahwa ada gadis yang sangat kamu harapkan, tapi aku juga tidak berbohong pada diriku sendiri.” dia menunduk.
“Fah, jodoh itu di tangan Tuhan, kalau kita berjodoh, kita pasti bersama. Untuk saat ini, aku menganggap kamu sebagai adikku sendiri, bukankah kamu tahu siapa gadis yang aku cinta?”
            Latifah membisu, dia tetap menunduk
“Jangan bersedih, insya Allah, ada pemuda yang lebih pantas bersamamu. Aku pulang dulu. Assalamualaikum...”
            Baru lima langkah meninggalkannya, aku mendengar suara Latifah parau, seperti sedang menangis,
“Jika dia bukan jodohmu, kembalilah kesini. Aku selalu menunggumu Hamka !”
            Aku tak tahu harus berbuat apa, menyakiti putri guru, sama halnya menyakiti hati guru. Tapi bagaimana dengan perasaanku? Hati Nafisahh. Apakah dia akan terima semua ini setelah sempat ku lontarkan janji padanya? Aku merenung dalam kamarku, menatap foto yang selalu memotivasi hidupku. Salah satu tujuanku untuk melanjutkan S-2 ke kota pelajar ini ialah demi dirinya.
Handphone ku tiba-tiba berdering, satu pesan baru saja masuk.
#Assalamualaikum... Mas, ibu sakit, kalau ada waktu Mas bisa pulang atau endak? Ibu kangen.#
            Ya Allah, ibu sakit lagi, aku melihat jadwal kuliahku, karena baru selesai ujian, jadi kuliah libur. Aku akan memanfa’atkan waktu liburku untuk kembali ke Madura, aku rindu ibu dan keluargaku, juga padanya.
            Pagi yang cerah ketika matahari raksasa sudah menguasai cakrawala, barisan awan terjajar indah dengan kicauan burung-burung, setelah meminta izin pada Pak Abdullah semalam, hari ini aku akan langsung menuju kampung tercintaku. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan ibu dan ayahku.
            Tanpa terasa, bus yang ku naiki sudah tiba di terminal Wiraraja sebentar lagi aku akan sampai di istana kecilku.
“Ibu...Ayah...aku pulang!” gumamku dalam hati.
            Rumah sederhana bercat hijau yang berada di depan ku ini tak berubah, sama seperti dua tahun lalu. Aku melangkah menuju pintu. Mengucap salam sambil mengetuk pintu, seorang gadis belia ku dapati tengah berdiri di ambang pintu. Syifa. “Mas Hamka” ujarnya seraya memelukku.
            Adikku satu-satunya ini sudah dewasa, dulu waktu aku akan pergi, dia masih seperti anak kecil, tapi sekarang sifat kekanak-kanaknya mulai berubah. Syifa menuntunku menemui ibu di kamar. Ketika melihat seorang wanita setengah baya tertidur di kasur, aku langsung memeluknya, mencium tangannya dengan takdzim. Air mataku mulai menetes deras, kerinduanku terhadap ibu sudah terobati “Kamu pulang Nak...” ucapnya lirih.
“Iya Bu, aku pulang! maaf selama ini aku jarang pulang.” ujarku disela isak tangisku.
            “Tidak apa-apa, do’a ibu akan selalu menyertai setiap langkahmu asal kau tetap berada di jalan Allah”
“Ibu... Aku rindu sekali pada Ibu dan ayah...”
“Ibu juga rindu kau Nak...”
Suasana haru menyelimuti hatiku. Sekarang aku sudah berkumpul dengan keluargaku, dengan ayah, ibu, dan adikku. Aku bahagia kerinduan selama ini aku pendam-pendam akhirnya terobati juga.
Aku menuju kamar mungilku rasanya lama sekal aku tidak menempati kamar ini. Sekarang yang masih mengganjal di benaku hanya satu. Yaitu bertemu dengan Nafisah bagaimana kabarnya? Akankah dia tetap di pesantren atau sudah keluar? Aku merindukannya.
Suasana malam yang begitu ku rindukan, malam yang beda dengan malam yang biasa aku lewati di Jogja aku duduk di teras rumah, menikmati suasana angin malam yang membelai kulitku, menatap hamparan langit yang dihiasi oleh bintang-gemintang.
Tiba-tiba aku merasa ada yang menyentuh pundakku. Ibu.
“Nak, boleh ibu bertanya sesuatu?”
“Tentu Bu, ada apa? Ujarku penasaran”
“Nak, menurutmu. Ikhlas itu bagaimana?”
            Aku tak mengerti dengan pertanyaaan ibu, tapi aku tetap menjawabnya
“Ikhlas itu adanya di hati Ibu, bukan hanya lisan yang berkata. Iklas adalah sesuatu yang kita rasakan untuk menggambarkan perasaan kita. Misalnya ketika kita ingin bersedekah, yang paling utama adalah ke ikhlasan hati kita saat bersedekah, memangnya kenapa Ibu bertanya seperti itu?” giliranku bertanya
“Ibu hanya ingin tahu jawabanmu. Besok nyabis ke dhalem, jangan lupa almamatermu.”
“Pasti Bu...”
“Ibu berlalu meninggalkanku, rencana besok aku memang ingin pergi ke dhalem, mau nyabis sama kiai, sekaligus ingin bertemu dengannya. Ya Allah semoga hari esok lancar.” do’aku.
            Aku tengah merapikan kopyahku. Tak sabar ingin cepat sampai ke pesantren dan bertemu dengan sahabat-sahabatku. Sekitar tiga puluh menit ku habiskan menuju pesantrenku. Aku tersenyum bahagia ketika melihat  tulisan di dinding dengan ukiran yang besar “Pondok Pesantren At-Taufiqiyah” pesantren yang telah mengantarku sampai sukses seperti saat ini. Tapi aku heran, hari ini ku lihat santri dari tadi mondar-mandir seraya membawa pot bunga dan membersihkan halaman pesantren.
“Dik... di dhalem ada apa ya?” tanya ku heran.
“Ra Azil, akan menikah Mas.” ujarnya kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya yang belum rampung.
            Masya Allah. Ra Azil, putra tertua kiai yang dulunya sangat dekat denganku ini telah menikah, Subhanallah. Beruntung sekali seorang wanita yang menjadi istrinya, meski bukan tamu undangan, tetapi aku ingin mehadiri pernikahan temanku sekaligus putra kiaiku.
            Tiba-tiba seluruh persendianku terasa sakit, langkahku terhenti di ambang pintu, ada sakit yang tiba-tiba menyeruak ke dalam kalbu.
“Saya nikahkan engkau, Syukron Jazila dengan Nafisahtul Munawwarah...”
“Tunggu!” ujarku keras. Semua mata memandangku dengan heran, ada juga yang terkejut saat melihatku. Ku pandangi gadis di samping Ra Azil dia menunduk.
“Saya ingin menyaksikan pernikahan sakral sahabat saya.” ujarku dengan seberkas senyum, yang tak mampu menyembunyikan rasa sakit dalam hatiku.
Ra Azil bangkit lalu memelukku, pelukan seorang sahabat yang selama ini ku rindukan. Air mataku menetes, bukan karena bahagia bertemu dengan Ra Azil, namun karena sakit hati yang mengakar dalam nurani, melihat wanita pujaanku sudah bersanding di pelaminan bersama putra kiaiku sendiri. Aku duduk di samping Ra Azil. Penghulu melanjutkan kembali akad yang sempat tertunda karena kehadiranku.
“Saya terima nikahnya Nafisahtul Munawwarah, dengan mas kawin, seperangkat alat shalat, dan mushaf suci al-qura’an tunai”
Ya, detik ini jua harapan yang selama ini bersemi dalam jiwaku musnah, bunga-bunga cinta dalam jiwaku berguguran. Seandainya bukan menghormati kiai, ingin rasanya jika membawa Nafisahh pergi dari tempat ini, dan membawanya ke suatu tempat yang tak mungkin orang tahu.
Kini baru ku mengerti pertanyaan ibu semalam tentang ikhlas? Apa saat ini aku ikhlas? Tidak, hatiku tak bisa mengikhlaskan semua ini begitu saja hampir tiga tahun cinta ini kujaga, ku rawat dengan kesetiaan dan kasih sayang yang begitu tulus, dan akhirnya? Luka yang jadi balasanku. Rasanya aku bermimpi mengalami kejadian hari ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Gadis yang ku cintai telah resmi menjadi seorang istri dari putra kiaiku.
Hancur hatiku ketika melihat Nafisahh mencium tangan Ra Azil dengan takdzim dan Ra Azil mencium keningnya. Seharusnya aku yang berada di posisi Ra Azil? Aku yang seharusnya menyamatkan cincin pernikahan ke jari manis Nafisah, mencium keningnya dan . ... ahh... Semua itu hanyalah mimpi yang pernah hadir dalam tidurku.
            Pikiranku melayang pada sosok gadis berwajah arab yang setia menungguku di Kota Jogja sana. Haruskah ku kembali dan menjemputnya? Benarkah dia jodoh yang dikirim Tuhan untukku?
            “Ya Allah... mungkin kebaikan itu bukanlah pada yang terpilih, melainkan pada jalan yang kau pilih. Semoga cinta ini bukanlah nasib, tetapi ujian hidup yang kau beri dan kau fahamkan aku atas segala urusanku hingga pada akhirnya aku tidak berburuk sangka atas takdir yang telah Engkau gariskan padaku”  gumamku, sejenak menenangkan diri karena aku yakin hanya kepadaNya aku dapat meminta pertolongan.
            Perlahan aku menyeka air mataku, ku langkahkan kaki mendekati Nafisahh yang saat itu sedang sendirian. Sejenak ku berikan seulas senyum untuknya.
Ukhti, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Jadilah istri yang solehah.”
“Amin, terima kasih atas doamu akh... Dan aku minta maaf telah membuat hatimu luka tapi ketahuilah semuanya bukanlah kehendakku. Bukan kehendakmu pula. Bukan pula kehendak Ra Azil. Semua ini kehendak Yang Maha Kuasa, Rabb yang Maha Berkehendak, Allah Azza wa Jalla.” kata-kata itu yang terakhir ku dengar dari Nafisah sebelum akhirnya dia berlalu. Aku yakin Nafisah pasti bahagia hidup bersama dengan Ra Azil.
            Dan aku. Aku memutuskan untuk kembali ke Jogja, dan memperistri putri dosenku. Latifah. Yang setia menunggu kehadiranku.
                                                                                               


                                                @NIHAYATUN NURIL AFIFAH
            Sumenep, Madura.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Hidup dari Abah K.H. Imam Barmawi Burhan

Wajah Wajah Kemaren Lusa

MyBIGDream dan Resolusi di tahun 2017 ^^